BantaengBudayaDaeng Litere'EdukasiJurnalisme WargaKulinerNewsSejarahTrending News

Antama Balla dan Filosofinya

Oleh: Ikbal Haming

Bagaimana kita memaknai rumah? Apakah ia serupa bangunan, terdiri dari susunan kayu yang dihubungkan oleh paku, tempat kita kadang terpaku? Atau tentang butiran-butiran pasir dan semen, yang menyatu dengan batu merah, yang tabah memeluk kala dingin menyapa?

Atau, barangkali rumah melampaui itu. Sebagaimana orang mengangankan rumah sebagai tempat paling ramah, yang menerima penghuni apa adanya. Palung terdalam, tempat pulang paling nyaman. Tak mesti berdinding, tak harus beratap, dan tak wajib berlantai. Ia bisa menjelma orang terkasih, mungkin juga masa lalu. Sebab, bukankah tak ada guna rumah, jika kita tak punya alasan kembali?

Ya, kadang rumah sedikit rumit didefenisikan, tapi kita akan tahu rasanya ketika sudah menemukannya.

Namun, apa pun makna rumah dalam kepala. Saya sungguh percaya bahwa rumah itu sakral. Olehnya, rumah mesti diperlakukan seistimewa mungkin. Entah kala dibangun, atau saat hendak mendiami pertama kali. Sebagaimana sebagian masyarakat masih setia pada tradisi leluhur. 

Di Jawa misalnya, dikenal tradisi slup-slupan, sebagai selametan rumah baru. Sebuah bentuk pengharapan, agar diberikan keselamatan selama menghuni rumah.

Dilansir Kemdikbud, tradisi slup-slupan diawali dengan satu orang yang memegang sapu lidi untuk menyapu. Sementara satu orang lagi, memegang lampu minyak dan tempat air. Setelah itu, keduanya berdoa di depan rumah. Acara dilanjutkan dengan mengelilingi rumah, sembari menyapu dan menyiram rumah dengan air. 

Semua prosesnya memiliki makna filosofis bagi masyarakat Jawa. Kegiatan menyapu dengan sapu lidi merupakan penggambaran untuk mengusir segala kotoran, baik fisik maupun non fisik. Lampu yang digunakan mengitari, bertujuan agar senantiasa memperoleh pencerahan dalam hidup. 

Lain Jawa, lain di Sulawesi Selatan, tepatnya Bantaeng, bil khusus lagi kala saya masuk rumah beberapa purnama lalu. Paling tidak, demikianlah yang saya alami, berdasar tradisi turun temurun di masyarakat tempat saya hidup. 

Pertama, saya tumbuh di tengah masyarakat, yang meyakini bahwa dalam hidup ini ada hari baik dan buruk. Ada jangka waktu tertentu yang dianggap sakral dan dipercayai dapat menambah keberuntungan. Karenanya, saya diminta pergi ke tetua di kampung seberang untuk accini allo, melihat hari baik. Oleh tetua, saya juga diberi rekomendasi panrita balla yang bisa membersamai prosesi masuk rumah.

Kedua, saya diminta untuk menyiapkan penganan khas, yang akan dibawa dan dibaca-bacai (didoakan) kala antama balla. Ada beberapa jenis penganan tradisional yang mesti disiapkan. 

Saya sempat bertanya, haruskah semua itu? Katanya tidak mesti, tapi jika mampu, alangkah baiknya menyiapkan semuanya. Sebab, setiap penganan punya filosofinya masing-masing, sebagai bentuk afirmasi positif. Semacam the law of attraction. Jadi, ketika kita membayangkan sesuatu, maka pikiran itu akan dikirim ke semesta, dan secara magnetis pikiran akan menarik semua hal serupa, kemudian dikembalikan ke sumbernya, yaitu kita.

Saya sebutkan saja penganannya, beserta filosofinya.

Ka’domasingkulu, beras yang dibungkus daun pisang lalu dikukus, berbentuk segitiga yang diikat berpasangan dengan sudut diposisikan tidak sejajar, sehingga masing-masing sudutnya mengarah ke segenap penjuru mata angin. Ini bermakna penolak bala, bahwa mala dari segala penjuru angin akan disingkulu (disikut)—sebagaimana namanya—hingga tidak menganggu penghuni rumah. 

Umba-umba, sejenis kue berbentuk bulat diisi gula merah, direbus lalu diselimuti parutan kelapa, memiliki makna pernah tenggelam, tapi kemudian muncul kembali. Harapannya, penghuni rumah kelak bisa mengatasi semua masalah dan tantangan hidup. Jika masalah datang menenggelamkan, maka kelak ada masanya bangkit dan tidak pernah tenggelam lagi. 

Lebo-lebo, makanan ini mirip boba, biasanya terbuat dari beras ketan, yang dibulatkan dan dimasak di dalam air mendidih, disempurnakan dengan kuah gula merah. Penganan ini punya arti bahwa kelak penghuni rumah akan dilebo-lebo dallekna (rezekinya), sebagaimana manisnya kuah gula merah.

Baje’, adalah makanan yang terbuat dari beras ketan dicampur santan dan gula merah. Sesuai namanya yang berarti baik, semoga penghuni rumah senantiasa diselimuti hal-hal baik. 

Loka lakbu, atau pisang panjang memang selalu hadir dalam setiap hari sakral. Pisang ini memiliki makna semoga penghuni rumah dianugerahi umur panjang dan berkah.

Cucuru te’ne, berbahan utama tepung dan gula merah, memiliki arti semoga penghuni rumah selalu a’rannu-rannu alias berbahagia. Sesuai dengan kata te’ne yang berarti manis.

Bente pare, makanan ini berasal dari padi yang dipanggang. Hasilnya mirip seperti popcorn. Laiknya padi yang meletup-letup saat dimasukkan ke dalam bara api, maka demikian pulalah harapan bagi penghuni rumah: semoga rezekinya senantiasa meletup-letup tak ada habisnya.

Apem, terbuat dari bahan utama tepung beras dan gula merah, disajikan biasanya dengan kelapa parut kukus sebagai topping. Kue ini terus menerus mengembang saat dimasak. Bermakna, semoga penghuni rumah senantiasa seperti kue apem, senantiasa berkembang menjadi lebih baik.

Selain penganan, saya juga diminta menyiapkan korong butta (periuk yang terbuat dari tanah). Setelah semua penganan di atas dibaca-bacai, maka korong butta menjadi wadah, di mana sampel tiap penganan dimasukkan di dalamnya, ditutup dengan batok kelapa, dibungkus daun pisang, lalu diikat. Korong butta kemudian dikubur di tengah rumah. Menurut panrita balla, tengah rumah yang dipilih ini, adalah sama dengan posisi benteng polong pada rumah kayu. 

Memang, beberapa tradisi antama balla telah mengalami penyesuaian, mengingat di kekinian model rumah sudah bermacam-macam. Namun, nilai dan maknanya masih tetap sama.

Korong butta yang dikubur di tengah rumah, adalah sebentuk passiamakkang (penyatuan) antara tanah, rumah, dan penghuni. Menguatkan koneksi ketiganya, agar si pemilik memiliki ikatan batin dengan rumah: tenang berada di dalamnya, dijauhkan dari segala mala, dan berlimpah berkah. Sehingga ketika si pemilik berada di luar, maka ia akan selalu merindukan rumahnya sebagai tempat pulang paling lapang. 

Konon, itulah mengapa, semegah-megahnya rumah orang, tidur selalu lebih lelap di rumah sendiri. Orang akan selalu mencintai rumahnya, sebagaimana rumah senantiasa merindukan orangnya. 

Selanjutnya, dilakukan appassili balla (menyucikan rumah), pemilik rumah menyiapkan daun passili dan ka’doro buku yang disimpan di wadah besi berisi air. Besi dipilih karena sifatnya yang dingin. Sedang dingin selalu diasosiasikan dengan hal-hal baik. Prosesi ini dilakukan dengan mengibaskan daun passili sembari dirapalkan doa, sebagai tanda mengusir roh jahat yang tidak kasat mata, juga sebagai tolak bala sehingga hal-hal buruk jauh dari rumah.

Prosesi masuk rumah diakhiri dengan a’bazaranji, puji-pujian terhadap Allah Swt., dan Nabi Muhammad saw., sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki rumah baru.

Sejujurnya, saya sempat sangsi dengan semua prosesi ini, sebab kealpaan pengetahuan. Memang, berkenaan tradisi, gap generasi muda dan tua kadang melebar. Kala yang muda makin kritis menanyakan ini itu terkait tradisi, justru yang tua bersembunyi di balik kalimat, “komonjo tong isse gitte adat ta konne”, dan tak menguraikan jawaban yang memadai. Akhirnya, yang muda mengonotasikan tradisi sebagai hal mistis, tinimbang filosofis. Padahal, setiap tradisi pasti punya uraian simbolik-filosofisnya. Meski di saat yang sama, tak seluruh tradisi juga wajib “dirasionalkan”.     

Saya sungguh yakin, kita tak boleh menanggalkan semua hal dari masa lalu, meninggalkannya di sudut berdebu sejarah. Sebab selalu ada hikmah dan pesan-pesan tersirat di dalamnya. Jika belum menemukannya, maka tugas generasi mudalah memperjuangkannya. 

Masa’ lamung-lamungna taua najagai, nalamung-lamungna nia tonja na tanajampangia. Bara ante kamma anjo adatta konne, tena na kammai jeknek ri lekok paccok

Ahmad Ismail

Fotografer-Videografer/Jurnalis Lepas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *