Kaloli: Kuliner yang Melegenda dan Simbol Kebersamaan
Oleh: Wahyu Hidayat
Bantaeng, Bonthaina – Dengan telaten ibu-ibu menggulung satu demi satu daun inru atau daun aren itu. Tarian jari manisnya menggulung daun-daun itu hingga ke ujung daunnya, lalu ujung daun tersebut diikat. Usai proses tersebut, daun yang telah dibentuk itu lalu di kumpulkan di atas pattapi atau tampah.
Setelah proses membentuk daun-daun itu usai, butiran-butiran beras lalu dimasukkan ke dalamnya sedikit demi sedikit dengan penuh kehati-hatian. Ujungnya kemudian diikat ketika beras telah mengisi kurang lebih separuh dari anyaman daun aren itu. Dan bagian akhir sebelum ia disantap, adalah dengan memasaknya terlebih dahulu.
Butuh waktu yang cukup lama untuk mematangkan beras yang ada dalam bungkusan daun aren itu. Potongan-potongan kayu bakar silih berganti dimasukkan. Ketika air rebusannya mulai menyusut, maka dengan cekatan dimasukkannya kembali air ke dalam panci. Proses itu bisa berulang kali dilakukan. Ketika isinya telah menjadi padat dan daun-daun pembungkusnya pun telah mengalami perubahan warna, maka tandanya hasil buah tangan itu telah matang dan siap disajikan.
Walau memakan waktu yang cukup lama, tapi proses pembuatannya masih tergolong sederhana. Di sisi lain rasanya pun nyaris hambar, tertolong oleh aroma daun pembungkus yang merangsek masuk ke dalam butiran-butiran beras yang telah berganti menjadi nasi itu, alhasil aromanya pun mewangi. Secara keseluruhan, mulai dari proses pembuatan hingga rasa yang ditawarkan, jenis makanan ini tampak sangat sederhana. Tapi di balik kesederhanaannya, ia punya tempat tersendiri di hati masyarakat, terkhusus masyarakat Kabupaten Bantaeng. Makanan itu bernama “Kaloli”.
Makanan ini nyaris hanya diketemukan saat momen-momen lebaran atau perayaan hari-hari besar. Yang juga nyaris tak pernah absen mengisi meja makan, bersanding dengan ketupat hingga buras, serta lauk pendampingnya.
Seperti yang saya bilang, kaloli memang tidak sesederhana proses, rasa, dan penampakannya. Sebab kaloli punya cerita dan nilai filosofi di baliknya. Dalam beberapa catatan baik lisan maupun tulisan, menyebutkan bahwa kaloli telah ada ketika Bantaeng masih dalam bentuk kerajaan.
Hingga saat ini di Pesta Adat Gantarang Keke, kaloli menjadi satu jenis makanan yang wajib disiapkan. Tatkala malam bulan purnama datang, pinati naik ke balla lompoa di gantarang keke, untuk mempersembahkan kaloli dan ikan hasil tangkapan pada upacara Pajjukukang, pada tokoh bernama Karaeng Loe. Dari seluruh rangkaian acara, ketika kaloli dan bahan makanan lain usai dipersembahkan kepada Karaeng Loe, maka pesta dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Makan bersama pun berlangsung dengan penuh khidmat. Ketika prosesi makan bersama telah berakhir, maka daun pembungkus kaloli kemudian dihanyutkan ke sungai yang ada dalam kawasan adat Gantarang keke. Daun-daun terbawa arus, hanyut hingga ke laut. Konon daun-daun yang telah tiba di laut itu menjelma menjadi ikan. Namun apabila daun tersebut tak hanyut sampai ke laut, masyarakat percaya akan datang hujan yang besar untuk menghanyutkan daun-daun itu hingga akhirnya tiba di laut.
Setiap makanan selalu hadir dengan cerita dan maknanya tersendiri, salah satunya kaloli. Makanan ini kemudian jadi ciri khas bagi kabupaten Bantaeng secara umum. Di balik bentuknya, kaloli mengandung simbol kebersamaan dan jalinan persaudaraan. Ujung daun yang diikat menghasilkan bentuk yang menyerupai passapu atau sejenis penutup kepala bagi kaum lelaki Bugis-Makassar, yang juga mengandung makna keberanian.
Setidaknya bagi saya, kaloli tidak hanya soal makanan, tidak hanya soal rasa dan juga tidak hanya soal penampilan. Akan tetapi nilai-nilai di baliknya menjadi sebuah kekayaan tersendiri, dan menjadi pelengkap dari budaya yang ada.
Saya percaya, kaloli tidak lagi dipandang hanya sebatas makanan, melainkan telah menjadi pelengkap kekayaan adat istiadat, tradisi, dan budaya bagi Kabupaten Bantaeng secara umum. Kehadirannya menjadi satu cerita tersendiri, membuka mata kita bahwa bukan hanya tarian, pakaian, atau bahasa yang menjadi simbol kekayaan budaya, melainkan juga termasuk di dalamnya adalah makanan.
Saya percaya, kaloli sejatinya adalah representasi dari kultur masyarakat Bantaeng yang tumbuh dalam harmonisasi. Masyarakat yang saling melengkapi, seperti kaloli yang sebelum dimasak terlebih dulu diikat menjadi satu, di mana dalam satu ikatan terdiri dari beberapa buah kaloli. Masyarakat yang juga punya rasa persaudaraan dan rasa persatuan yang tinggi.
Saya percaya, kaloli adalah makanan yang telah ada sejak dulu, yang kita cicip hari ini, dan akan selalu ada hingga nanti. Sudah seyogianya kita, mulai dari kalangan orang tua hingga terutama para pemuda menjadi garda terdepan untuk menjaga kekayaan budaya yang kita miliki. Dan pesta adat adalah salah satu cara. Di mana melalui pesta adat, ingatan kita tentang sejarah dan berbagai tradisi serta budaya dapat tetap terawat. Lewat rasa cinta yang kita tanamkan terhadapnya, maka kata punah atau hilang adalah hil yang mustahal.
Wahyu Hidayat, lahir di Bantaeng pada 23 Juli 1999. Berasal dan tinggal di Banyorang, Kec. Tompobulu, Kabupaten Bantaeng. Alumni Universitas Negeri Makassar tepatnya di Fakultas Ilmu Keolahragaan, menyelesaikan studi di bulan Desember tahun 2021.