Daeng Litere'

Kiai Pepi

Sekotahnya bermula dari ruang rapat berkapasitas sekira 20 orang. Deretan meja dan kursi membentuk huruf U. Aku sudah berulang kali menyata di ruangan ini, buat menyelesaikan aneka keperluan. Kali ini, aku bersua dengan penguasa ruangan, Hamzar Hamna, Ketua KPU Bantaeng. Aku ingin mengucapkan terima kasih yang khusyuk, atas izin penggunaan Aula KPU Bantaeng, buat dijadikan tempat penguatan kapasitas literasi para Relawan Promkes Dinkes Bantaeng, yang berencana membuat satu buku. Pun, mau menghangatkan kembali ingatan, keinginan Boetta Ilome-Rumah Pengetahuan, menempati aula itu, guna menyelenggarakan milad ke-11, Senin, 1 Maret 2021.

Di sela percapakan intim itu, tetiba saja Hamzar mengajukan permintaan, meneruskan permintaan Kordinator Gusdurian Sul-Sel, Suaib Pranowo. Serupa apa permohonan itu? Rupanya aku diminta ikut nimbrung mempercakapkan satu buku berjudul, Kyai Saleh 2, anggitan Pepi Al-Bayqunie, yang dimotori oleh Gusdurian Bantaeng, sekaligus bermalam minggu. Persisnya, Sabtu, 27 Februari 2021.

Aku oke saja. Meskipun tak menyangka akan jadi pembicara. Namun, sebagai pembina Gusdurian Bantaeng, tak elok mengelak. Selain itu, tak kalah menariknya, sebab Hamzar sekaligus mengonfirmasi tempat hajatan, di halaman Ruko Sentra Budi Jaya, milik Imanuel Budi, akrab disapa Pak Budi, sosok pengusaha motor dan suku cadang roda dua, berdarah Tionghoa. Ia seorang Gusdurian. Komitmennya dalam berkomunitas, selalu menggairahkan. Bahkan ia selalu menawarkan jasanya, bila ada hajatan Gusdurian. Helatan sawala buku ini, merupakan momen kedua kalinya para Gusdurian bersamuh di halaman rukonya.

***

Salam wa rahmah. Pepi mau datang di Bantaeng. Salah satu agendanya, sawala buku terbarunya.” Begitulah japriku pada Daeng Litere.

Butuh waktu setengah hari, balasan Daeng Litere membunyikan ponselku, “Oh ya? Kereeenn. Oke, kita sua nanti malam. Soalnya, saya masih keluyuran sekarang. Biasa, menggelandang di salah satu komunitas literasi.”

Sesarinya, memang Daeng Litere sejenis pembaca fanatik tulisan-tulisan Saprillah Syahrir Al-Bayquni, yang lebih lugas dipanggil Pepi. Apatah lagi, Daeng Litere juga seorang Gusdurian sejati. Bila aku Pembina Gusdurian Bantaeng, maka ia pembinanya Pembina Gusdurian Bantaeng. Bahkan, kadang ia setengah menekanku dengan ancaman, “Kalau tak mau dibina akan dibinasakan.”

***

Malam baru saja memulai safarnya. Aku bersama Sudding, bergegas ke salah satu warkop di sudut kota, tempat Daeng Litere menanti. Tampaknya ia ditemani dua orang, Hamma dan Sumang. Ia sengaja memilih warkop tradisional, tak punya jaringan internet. Kebiasaan unik, peninggalan generasi tua. Lagi pula, jika bercakap intim dengannya, ia meminta segenap kawan bercakapnya untuk menonaktifkan gawai. Biar lebih khusyuk jalannya percakapan.

Kopi nirmanis sudah tersedia. Lima gelas plus ubi goreng seadanya. Cukup memadai memoncerkan hasrat bercakap. Asap rokok mulai meliuk-liuk. Empat ahli hisap ini, menghiduku bau yang pernah kuakrabi di masa silam. Aku tidak terganggu bau tembakau terbakar itu.

Daeng Litere mengeluarkan satu buku berwarna hijau tua, berjudul, Kyai Saleh dan Surga yang tak Merindukannya, karangan Pepi Al-Bayqunie. Aku segera mengenali buku itu, sekuel pertama dari buku Kyai Saleh. Lebih dari itu, buku tersebut adalah pemberianku pada Daeng Litere, sebagai hadiah ulang tahunnya, tatkala usianya melompati lebih setengah abad, 51 tahun, pada 2018 silam. Lalu, aku membuka ransel, kukeluarkan buku berwarna merah. Matanya nyaris memerah, ngiler kayaknya. Ingin segera merebut dariku. Namun, ia penghayat, “Innallaaha maasshabiriin”.

***

Persamuhan di warkop tak utuh membahas kedua buku Pepi itu. Setiap aku mancing gagasan, Daeng Litere cuek. Jurusnya cuman satu: menghindar. Aku maklumi saja keadaannya yang tak bergairah adu gagasan. Pasalnya, ia masih terganggu oleh satu peristiwa yang menimpa mantan Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah (NA). Ia pun tak minat membincangnya. Ia menyimpan luka batinnya serapat mungkin. Maklum, baginya, NA itu adalah soul model. Aku berharap, suatu saat ia terbuka berbagi lukanya itu.

Selain itu, sepertinya Daeng Litere kurang nyaman mempercakapkan kedua buku Pepi tersebut. Pertama, ia enggan bicara nyeleneh di hadapan kawan lain, sebab sering salah paham. Kalau tidak paham itu masih lebih bagus. Kedua, ia ingin baca terlebih dahulu buku berwarna merah itu, Kyai Saleh 2. Ia pantang berkomentar atas satu perkara, kalau belum mengetahuinya.

Satu-satunya hasil percakapan kuanggap penting, kala Daeng Litere meminta buku merah, guna ia eja. Aku jelas keberatan dengan pintanya. Selain aku harus mendaras ulang untuk keperluan sawala buku, juga tidak ada jaminan darinya, ketika ia meminjam bukuku lantas ia mengembalikannya. Namun, aku luluh juga. Pasalnya, matanya mulai merah, nyaris semerah sampul buku. Aku pun rela, waima ia tak mengembalikannya.

***

Lalu kapan percakapan suntuk tentang bukunya Pepi? Daeng Litere berjanji, paling telat, sehari sebelum sawala buku di helatan Gusdurian Bantaeng berlangsung. Janji itu pun ditepatinya. Ia tidak mengajak ke warkop, melainkan mengajak ke rumah batinnya, pada ranah pikiran dan ruang gerakan.

Bakda Magrib, berdepan-depanlah aku dengan Daeng Litere. Sungguh, kali ini aku hanya ingin mendengarkan Daeng Litere, bertutur atas pembacaannya terhadap dua sekuel buku Kyai Saleh. Seperti halnya Kyai Saleh bersama para muridnya, aku pun memosisikan Daeng Litere sebagai guru.

Ia mulai bertutur, “Pepi selaku penulis, harus dilihat sebagai subjek yang bertumbuh secara intelektual dan spiritual. Jejaknya sebagai aktivis mahasiswa di masa muda, menjadi Gusdurian, warga Nahdiyin, dan ASN yang bernaung di Kementrian Agama RI, sekotahnya bersetubuh dalam buku ini. Pepi menciptakan tokoh Kyai Saleh, sebagai representasi dari sari diri idealnya, atau sebaliknya, kualitas cita ideal Kyai Saleh menubuh pada Pepi.” Suara toa masjid, azan penanda salat Isa berkumandang, menyela percakapan kami.

***

Usai tunaikan ibadah Isa berjamaah, aku kembali berdepan-depan dengannya. Tarikan napas panjang Daeng Litere, menjadi gong penanda, ujar-ujar kembali mengalir.”Lewat tokoh Kyai Saleh, sesungguhnya Pepi ingin menawarkan cara beragama yang moderat, Islam jalan tengah: Islam Nusantara. Satu perspektif bagaimana Islam berdialog dengan budaya nusantara. Sehingga, buku ini layak didapuk sebagai penjelasan konkrit dan mudah dari konsep moderasi Islam. Kyai Saleh sebagai tipologi ulama, dengan sekotah kesederhanaannya, amat dibutuhkan oleh negeri ini, di kekinian dan kedisinian.”

Lebih dalam Daeng Litere mengulik, “Cuman ada yang agak menganggu, sebab Pepi awalnya memaksudkan kumpulan tulisannya, sebagai esai yang memilih unsur dialog imajiner, tapi disimpaikan dalam bentuk cerpen, ketika dihimpun dalam satu buku. Menurut saya, akan lebih berkarakter sebagai esai, tinimbang cerpen. Sebab, jika cerpen, kurang dinamis cenderung monoton. Padahal, jika didefinitkan sebentuk kumpulan esai, akan lebih elok, apatah lagi esai yang baik itu adalah esai yang ditulis dengan gaya sastrawi. Bercerita dan berdialog, merupakan varian karya sastra. Cukup banyak esais kondang memilih cara ini, semisal: Cak Nun, Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma, dan Butet Kartaredjasa.”

 Seolah tiada jeda, Daeng Litere menabalkan guyonan, “Kalau saja diterbitkan ulang, kedua buku yang terpisah itu disatukan dalam satu kumpulan esai, saya yakin jangkauan pembacanya akan meluas. Sebab, pembaca karaya fiksi dan nonfiksi, akan bersua dalam kenikmatan gagasan intelektual dan spiritual. Dan, kalau boleh saya nyeleneh sedikit, tak mengapalah Kyai Saleh menubuh sebagai Pepi atau Pepi menyamar selaku Kyai Saleh, saya mendapuknya dengan panggilan Kiai Pepi. Lebih milenial dan akan mudah menyapa kaum muda. Oh ya, hampir lupa, segenap murid Kyai Saleh, juga bagian dari kedirian Pepi, setidaknya Pepi waktu muda.”

***    

Malam minggu pun tiba. Berkumpullah sekaum Gusdurian. Penghadir cukup beragam latar sosial dan profesinya. Moderator, Muhammad Ichsan, Kordinator Gusdurian Bantaeng, membuka acara. Basa-basi pengantar dikemukakan. Berikutnya, meminta kepada Pepi Al-Bayqunie selaku penulis memantik perbalahan. Pepi pun menerangkan maksud bukunya, proses kreatif kepenulisan, substansi isi buku, dan penciptaan tokoh Kyai Saleh dan sekawanan muridnya, yang cukup hidup menjalani takdirnya.

Arkian, moderator memintaku selaku pembicara, agar meramaikan percakapan. Aku pun langsung unjuk ucap, dengan membagi ruang percakapan pada konteks dan konten buku. Seolah-olah aku ikut berpikir. Padahal, aku hanya mendaur ulang ujar-ujar Daeng Litere. Kenapa begitu? Pasalnya, ketika aku mulai bercuap-cuap, aku merasakan Daeng Litere masuk ke relung batinku, lalu meminjam mulutku, agar mengujarkan tutur-tuturnya, persis seperti sewaktu masih berdepan-depan di rumah batinnya.

Persamuhan sudah memangsa waktu kurang lebih 120 menit. Moderator mengakhiri sawala buku. Segenap penghadir lanjut diskusi informal. Tak ketinggalan Daeng Litere mendekatiku, lalu unjuk kata, “Angngurai nanupaui rahasiaku, nupassingkamuai Daeng Litere rung Kyai Saleh,” maksudnya, kenapa kau bocorkan rahasia Daeng Litere sama dengan Kyai Saleh, keduanya tokoh imajiner. Lain lagi dengan Sudding, Hamma, dan Sumang, yang turut hadir. Mereka amat takjub. Sebab, hanya persuaan separuh malam, hasil pembacaan terhadap Kyai Saleh demikian komplit. Setelahnya, aku mendekati Hamzar Hamna, menjabat tangannya, sembari bergumam dalam hati, tengkiyu atas permintaannya di ruang rapat, berlaksa detik lalu.

Gambar: Nabila Az-Zahra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *