BantaengBudayaNewsSejarahTrending News

Lasepang: Kampung Bugis di Tanah Makassar

Oleh: Lukman Harun

Bantaeng, Bonthaina – Ada kampung yang selama ini dianggap ganjil menurut orang Bantaeng. Kampung itu dinamakan Kampung Lasepang. Dianggap ganjil karena di tengah perkampungan Makassar. Dalam keseharian di Kampung Lasepang, bahasa komunikasinya berbahasa Bugis. Meskipun saat saat ini, bahasa mereka sudah terkontaminasi bahasa Makassar, yang banyak digunakan orang Bantaeng pada umumnya. Sehingga keaslian bahasa Bugis yangg digunakan turun temurun oleh para tetua, tidak sama lagi.

Saya lumayan paham dengan kampung yang jantungnya dibelah oleh jalan poros provinsi: Bantaeng-Bulukumba. Sebab, saya lahir dan besar di kampung Bugis ini, yang sekarang dinamai Lasepang. Merujuk pada kisah-kisah para tetua terdahulu, asal mula adanya kampung Bugis, nota benenya berasal dari tanah Bugis.

Berawal saat terjadi peperangan antara Raja Bone dan Raja Gowa, ditandai adanya Kampung Parang Bugisi dan Kampung Makassar. Kedua kampung tersebut, berdekatan dengan Kampung Lasepang, walaupun saat sekarang, kedua kampung tersebut tidak berpenghuni lagi. Sudah menjadi kebun dan persawahan.

Menurut cerita orang tua dulu dan saat saya masih duduk di bangku SMP. Kala itu saya sempat bertanya, kenapa kampung ini diberi nama Kampung Lasepang? Orang tua tersebut bercerita, bahwa pada saat peperangan antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa, pasukan mereka bertemu di kampung ini. Makanya ada dibilang Parang Bugisi dan Makassar. Sebab, di sanalah mereka mendirikan tenda dan berperang, sampai beberapa minggu lamanya.

Usai peperangan, seorang penglima perang dari Kerajaan Bone terluka parah. Akibatnya, tidak memungkinkan untuk kembali ke Kerajaan Bone. Saat itulah para pasukan dan pemimpin pasukan bersepakat, mencari tempat buat panglima perang ini, guna penyembuhan lukanya yang sangat parah.

Waktu itu panglima perang Kerajaan Bone terkena tombak di bawa keteknya. Dalam bahasa Bugis diistilahkan alepa. Dari asal kata alepa, berkembang menjadi kata Lasepang. Maknanya, yang terluka keteknya. Kata Lasepang, dikonotasikan dalam bahasa Bugis, lasa epa, berarti luka di bawa ketek.

Bertolak dari latar inilah, nama Kampung Lasepang berasal penggunaannya. Panglima perang Kerajaan Bone yang tinggal dalam rangka peyembuhan di kampung ini, bersama para pengikutnya, beranak-pinak. Cerita tentang asal muasal penamaan kampung dan hadirnya perkampungan Bugis, saya dapatkan dari H. Haruna, yang biasa kami panggil nenek, meskipun ia seorang lelaki.

Rasa penasaran saya terhadap kisah-kisah para tetua tentang Kampung Lasepang, terus membuncah. Maka dengan bermodalkan tekad dan sedikit nekad, saya berburu literatur tentang peristiwa besar di masa silam, yang menyebabkan lahirnya satu kampung Bugis di Bantaeng.

Atas bantuan seorang pegiat literasi di Bantaeng, pendiri Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, Sulhan Yusuf, saya kemudian disodorkan satu buku berjudul, Butta Toa Bantaeng Menjawab Zamannya 1666-1905, anggitan Sahajuddin, seorang sejarawan dan akademisi Universitas Hasanuddin.

Ada satu bab dalam buku tersebut, tatkala Sahajuddin mendedahkan Bab III dengan judul, “Bantaeng dalam Perang Makassar”. Saya mendaras bab tersebut dengan tekun. Pasalnya, jalannya perang diceritakan dengan lugas. Perang Makassar (1666-1669), perang antara pasukan Kerajaan Gowa bertempur dengan pasukan VOC-Bugis. Representasi Bugis di sini, Kerajaan Bone berkoalisi dengan VOC-Belanda.

Kerajaan Bantaeng sebagai tempat terjadinya peperangan, selain hubungan koalisi Kerajaan Bantaeng dengan Kerajaan Gowa, terjalin sejak lama, bahkan terjadi hubungan genetik, juga letak strategis Kerajaan Bantaeng dan sebagai lumbung berasnya Kerajaan Gowa. Sekadar dicatat, hingga abad ke-17, Kerajaan Bantaeng mampu mensuplai kebutuhan beras Kerajaan Gowa dalam perdagangan internasional.

Berlapik pada pertimbangan koalisi, letak strategis, dan lumbung beras, VOC menganggap Bantaeng merupakan pertahanan Kerajaan Gowa dari sisi luar bagian selatan. Maka VOC membumihanguskan Bantaeng. Meskipun, serangan bumi hangus oleh VOC tidak disetujui oleh koalisi Bugis-Kerajaan Bone, karena ada tradisi di kalangan masyarakat Bugis-Makassar yang menghormati tanaman padi.

Pembumihangusan VOC terhadap Bantaeng terjadi dua kali. Pada saat pasukan VOC menuju Buton, diseranglah Bantaeng secara diam-diam tanpa sepengatuan pasukan Bugis. Sementara serangan kedua, saat VOC mau menyerang Benteng Galesong. Serangan kedua ini sudah melibatkan pasukan Bugis, koalisi VOC-Bugis.

Ah, saya kutipkan saja penggalan-penggalan tulisan Sahajuddin, “Bagi Kerajaan Gowa, Bantaeng adalah benteng pertahanan yang vital dari arah selatan sehingga ditempatkan beribu-ribu pasukan di sana. Sementara VOC-Bugis, Bantaeng adalah pintu gerbang suksesnya pasukan untuk menaklukkan Kerajaan Gowa. Sehingga pertempuran di sini adalah hidup matinya antara Kerajaan Gowa dan VOC-Bugis menembus pertahanan kedua belah pihak. Setelah mematahkan pertahanan pasukan sebesar tujuh ribu orang pasukan di Bantaeng, tentara koalisi VOC-Bugis menuju Turatea.”

Pascaperang, dengan kemenangan di pihak VOC-Bugis, “Bantaeng sebagai sekutu Kerajaan Gowa mau tidak mau harus menerima kenyataan sebagai kerajaan yang masuk dalam penguasaan VOC-Bugis. Setelah Perang Makassar, Bantaeng dalam kebijakan VOC-Bugis berada di bawah kekuasaan dan pengawasan Kerajaan Bone sesuai hasil kesepakatan antara Kerajaan Bone dengan VOC.”

Berikutnya, Sahajuddin menulis, “Namun dalam pelaksanaan pemerintahan di Bantaeng tetap mengacu kepada aturan yang bersifat otonom. Artinya, bahwa segala kebijakan yang dilakukan oleh pihak pemerintah (Kerajaan Bantaeng) menjadi tanggung jawab raja. Khususnya, kebijakan sifatnya ke dalam dan menyangkut aturan untuk rakyat dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Bantaeng menjadi hak dan kewajiban penuh penguasa (raja) Bantaeng.”

Akhirnya, terjawablah sudah rasa penasaran saya. Kisah-kisah orang Bugis di kampung Makassar-Bantaeng. Bagaimana muasal mereka, lalu beradaptasi menjadi warga Bantaeng dan hidup berdampingan secara harmonis dengan orang Makassar. Kini, semuanya telah menjadi orang Bantaeng. Kampung Lasepang yang dibelah jantungnya oleh jalan poros Bantaeng-Bulukumba, diapit oleh dua kampung, Pasorongi dan Rappoa. Kedua kampung pengapit ini pun, dalam keseharian bahasa Bugis dan Makassar, bercampur baur, digunakan secara silih berganti. Bahkan, lahir kekayaan baru dalam berbahasa, baik dialek maupun kosa kata baru.

Lukman Harun, lahir di Kampung Lasepang, 19 Desember 1973. Buah hati dari pasangan H. Mahmuddin Sinongko dan Hj. Sitti Rohani. Mantan anggota DPRD Bantaeng periode 2009-2014 dan Ketua HIPMI 2010-2013. Kini, sebagai Ketua Koni Bantaeng, 2019-2024.

Ahmad Ismail

Fotografer-Videografer/Jurnalis Lepas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *