Daeng Litere'

Natalia

Basamami, basahlah sudah. Yah, Desember yang basah. Baik di kota mukimku, Makassar, maupun di kampung kelahiranku, Bantaeng. Sudah dua Jumat, aku menyata di Bantaeng. Aku jarang tinggal selama ini. Biasanya, baru sepekan sudah balik ke Makassar, waima akhir pekan berikutnya ke Bantaeng lagi. Apa passala?

Pasalnya, ada kendala di luar kendali. Sejak Jumat dua pekan lalu, tatkala seorang paman berpulang pada keabadian, aku ke Bantaeng dan hanya berencana tinggal tiga hari buat berbagi rasa di majelis duka, takziyah. Namun, apa lacur, seorang ponakanku tetiba sakit. Batuk, demam, dan agak sesak napas, menggado-gado di tubuhnya. Semula ia bertahan untuk rawat di rumah saja. Beberapa hari kemudian, terpaksa dilarikan ke rumah sakit, RSUD Prof.Dr.H.M. Anwar Makkatutu Bantaeng, sekira pukul 03.00 dini hari.

Jelang siang, hasil pemeriksaan awal terhadap ponakanku sudah keluar. Ada gangguan di paru-paru. Rupanya, penyakit bronkitisnya diminati oleh sejenis virus. Dicurigai semacam virus yang lagi populer nan viral. Putusannya, harus rawat di ruang isolasi. Dua hari setelahnya, hasil swab keluar. Pagebluk jahanam, virus sontoloyo, Covid-19, mampir menyapanya. Artinya, perawatan isolasi berlanjut hingga lebih sepuluh hari ke depan.

Kontan saja urita hasil swab ini mengganggu pikiranku. Sebagai orang yang berinteraksi dengannya, aku langsung inisiatif sendiri, memilih isolasi mandiri. Diperintah atau tidak oleh satgas penangulangan Covid-19. Aku taat pada desakan pengetahuanku, bahwa cara memotong mata rantai penyebaran virus, dibutuhkan kesadaran sendiri dan tindakan mandiri.

Langkah yang kutempuh ini, aku coba komunikasikan ke Daeng Litere. Sebab, dialah orang paling dekat denganku, khususnya di Bantaeng. Lewat japri ke nomor ponselnya, kutanyakan keberadaannya, lalu kusampaikan urita kurang menyenangkan ini.

***

“Covid nih ye?”, begitu jawabannya. Aku tahu ia bercanda. Namun, jalan pikiran Daeng Litere akan keberadaan pandemi Covid-19, rada tidak konsisten. Sepertinya, ia lebih memilih akomodatif terhadap setiap lawan bicaranya. Jikalau orang itu percaya pada covid-19, ia pun mengiya. Manakala sua dengan sosok yang tak percaya, hanya diam membisu.

Lalu kuutarakan maksudku, ingin berjumpa. Mau ngobrol sebagai pelipur lara. Daeng Litere bersedia, tapi aku tidak menawarkan tempat yang biasa, semacam warkop. Melainkan di rumah saja, tempat yang kucanangkan sebagai lokasi isolasi mandiri.  Begitu ia nyata di depanku, langsung ia kupeluk erat-erat, sekira lima menit. Dan, aku berbisik padanya, “Bantuka bos, temanika jalani isolasi ini.”

Daeng Litera mengelak, dengan puluhan alasan yang dibeberkan. Masih ada stok alasan yang ingin ia kemukakan, aku sudah langsung menyela, lalu berujar,”Pelukanku tadi, tak membolehkan engkau jauh dariku, sebab sudah ada kontak langsung. Meskipun aku belum dinyatakan positif Covid-19, setidaknya, kita berdua senasib. Sepenanggungan dalam terungku pagebluk nirtampak ini.”

“Berarti, sepuluh hingga empat belas hari ke depan, kita bersama?” tanya Daeng Litere.

“Ya, begitulah adanya,” jawabku.

“Mungkin dengan cara ini, kita bersama menjalani isolasi mandiri, bakal banyak percakapan menguar ke permukaan,” tegasku.

“Boleh juga. Okelah kalau begitu, biar saya kabari dulu orang-orang yang sudah bikin janjian denganku, agar tidak mencariku, hingga beberapa hari ke depan. Reken-reken, anggaplah kita beruzlah, hehehe,” Daeng Litere menyepakati permintaanku.

***

Dua, tiga hari pertama, kami bercakap biasa-biasa saja. Tetiba aku menyetel satu tembang lawas, lewat ponselku yang ter-bluetooth ke pelantang mungil, pemberian salah seorang putriku. Bak penyiar radio, aku berucap retorik, “Satu persembahan spesial buat separuh jiwaku, Daeng Litere, tembang lawas dari Koes Plus.”

Tiada seindah masa yang lalu // Pertama kali kuberjumpa denganmu // Tiada terasa saling menyinta // Dan ingin hidup bersama

Masa bercinta masa yang paling indah // Walaupun penuh dengan penderitaan // Masa bercinta masa yang paling indah // Walaupun penuh dengan penderitaan

Tiada seindah kisah cintaku // Di akhir tahun di bulan Desember // Masa yang indah dalm hidupku // Yang tak dapat kulupakan.

Sungguh, akibat tembang lawas berjudul “Desember”, karangan Murry, drummer Koes Plus, melarutkan Daeng Litere dalam pusaran kenangan. Raut wajahnya mekar, rona mukanya merekah. Tampak senyum simpul, campur malu mengemuka. Aku dengan mudah menebak gejolak isi hatinya.

“Tembang ini mengingatkanku pada seseorang. Entah di mana kini berada. Tak tahu ke mana rimbanya. Belantara masa telah menelannya,” Daeng Litere menggumam.

“Boleh kutebak siapa yang kau maksud?” aku menohokkan tanya pada Daeng Litere. Dan, sebelum ia menyahut, tohokan jawaban sudah kudedahkan, “Natalia bukan?”

“Betul, seribu persen,” Daeng Litere penuh semangat menyahut.

***

Sejatinya, aku dan Daeng Litere, dalam menyetubuhi masa silam, khususnya masa kanak jelang remaja, punya sebongkah kenangan. Apatah lagi, masa-masa itu merupakan masa berkecambahnya rasa cinta bagi pecinta pemula. Orang dulu bilang, cinta monyet. Satu model percintaan anak ingusan.

Apa istimewanya Natalia bagi Daeng Litere? Aku sendiri tidak tahu persis duduk perkaranya. Pastinya, bagi Daeng Litere, sosok Natalia amat berarti dalam hidupnya. Natalia terlukis dalam ingatannya, terpahat di sudut hatinya. Meski terbilang masih cinta monyet, tapi sekaligus cinta pertamanya. Aku bisa merasakan apa yang dirasainya. Karena, selama bersama Daeng Litere, sekotah sari dirinya, menjadi sari diriku jua.

Natalia hanyalah salah seorang kawan sepermainanku, sedari SD sampai SMP, yang berlatar belakang suku Toraja dan beragama Nasrani. Masih ada lainnya. Ingatanku tertuju pada, Lazarus, Johannis, Veri, Thomas, Minggus, Lidya, Anna, Maria, Yacobus,Tabita, Adriana, Ribka. Stefanus, dan lainnya. Perbedaan suku dan agama, bukanlah menjadi penghalang, buat berakrab ria. Di antara mereka sudah ada yang almarhum dan almarhumah.

Keragaman etnik dan agama masyarakat Bantaeng adem adanya. Masyarakat Bantaeng merupakan masyarakat terbuka. Sejak dahulu sudah terbiasa dengan keragaman. Inilah salah satu indikator dari julukan Butta Toa, dari sisi kehidupan sosial. Sependek ingatanku, belum pernah ada konflik sosial dikarenakan keragaman tersebut. Harmoni sosial masih terjaga.

Tepatlah apa yang dilantangkan Daeng Litere, pada satu forum bertajuk merawat toleransi, bertahun lalu, “Bantaeng adalah miniaturnya Indonesia. Di sini, kebhinekaan masih terjaga dengan baik. Semboyan, ‘Bhineka Tunggal Ika’, nyata adanya di Bantaeng.” Dan, menurutku di Bantaeng pula, penabalan Imam Ali bin Abi Thalib ra, menemukan lahan suburnya, “Jika dia bukan saudaramu seagama, dia saudaramu dalam kemanusiaan,”

***

Bagi Daeng Litere, ia seperti monyet di hadapan Natalia, karena cintanya masih cinta monyet, khas anak ingusan. Belum pernah ia ungkapkan rasa hatinya, untuk mencintai Natalia. Anehnya, tembang lawas Koes Plus itu, seolah membenarkan perasaan cintanya. Dan, sebenarnya ia sudah ingin menyatakan cintanya secara lugas, tetapi Natalia pindah ke pulau lain, mengikuti penugasan orang tuanya di Sumatera.

Ajaibnya lagi, bila tiba bulan Desember, khususnya saat hari Natal menyata, Daeng Litere selalu mengulang ingatannya pada Natalia. Dari seluruh pengetahuan Daeng Litere tentang Natalia, barulah sampai pada kepastian, bahwa Natalia lahir bertepatan dengan hari Natal, satu hari suci bagi umat Nasrani.

Entah sudah berapa puluh Desember dijalani Daeng Litere, dengan rasa yang sama atas lilitan memori manis pada Natalia. Demikian pula dengan Desember tahun ini, meskipun ada bedanya, karena pagebluk Covid-19 ikut menghidu sweet memories ini.

Sehari sebelum hari Natal, berarti jelang Jumat ketiga bagiku di Bantaeng. Ada urita bahagia dari rumah sakit. Kondisi kesehatan ponakanku makin membaik. Diperkirakan, satu dua hari ini sudah bisa pulang. Paling tidak, pindah ke ruang perawatan nonisolasi.  Maknanya, aku dan Daeng Litere pun bebas dari isolasi mandiri. Dan, kami memilih Hari Natal 2020 sebagai hari kebebasan. Meskipun kami berdua muslim, pastilah ikut merasakan keberkahan di hari suci umat Nasrani.

Hari Natal bersama Natalia dalam kenangan, menyimpai Desember yang basah. Perkaranya, kelopak mata Daeng Litere sembab. Ada lelehan hangat di pipinya. Mungkin karena tabungan kenangannya bertambah lagi. Aku ikut menyembabkan mata, berempati pada separuh jiwaku. Basamami.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *