Jurnalisme Warga

Para Pemaku Pohon

Mei 1987 George Alexander baru memulai shift-nya di pabrik kayu Louisiana-Pasifik di Cloverdale, California. Ketika memotong kayu, gergajinya meledak. Separuh bilahnya tertancap di batang kayu. Sisanya mendarat di kepala pemuda berusia 23 tahun itu, merobek helm pengaman dan pelindung mukanya. Wajahnya tersayat dari mata hingga dagu. Giginya hancur dan rahangnya terbelah dua.

Alexander menjadi korban sabotase tree spiking yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya “eco terrorism”, kelompok radikal dari para pecinta lingkungan. Mereka telah menancapkan paku baja besar ke dalam batang kayu sehingga membuat gergaji tersangkut.

Memaku pohon adalah salah satu strateginya yang paling ekstrim. Saat pohon masih berada di dalam hutan, paku ditancapkan secara miring sehingga kepalanya tersembunyi di dalam kulit kayu. Dampaknya sanggup menghancurkan gergaji mesin, menyebabkan potongan baja setajam silet beterbangan.

Dove Foreman, salah satu pendiri Earth First, cabang paling radikal dari gerakan lingkungan hidup mengaku tindakan ini dilakukan guna mencegah penebangan pohon. “All in the name of protecting Mother Earth,” katanya sebagaimana dikutip The Washington Post.

Jauh dari California, Di Kabupaten Bantaeng, saya menjumpai lima puluh tiga paku di perjalanan 5 kilometer dari rumah ke sekolah. Sedang dari rumah ke tempat cukur di pinggiran kota, saya melihat ratusan paku dalam 10 kilometer aspal jalan. Angka yang fantastis untuk paku yang ditanam di batang pohon di sisi jalan.

Saya lalu berpikir, apakah pengikut Dove Foreman juga sudah ada di Bantaeng, hingga ideologi memaku pohon untuk menjaganya agar tidak ditebang telah merasuki pikiran mereka juga?

Oh ternyata tidak, saya amati lebih detail, di antara paku-paku itu ada baliho para caleg. Sial, ternyata mereka memaku pohon untuk menjual diri agar laku dipilih nanti. Pohon yang berdaun hijau itu, kini serupa pelangi yang berwarna warni: merah, kuning, biru, dan hijau.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Memang, di musim pemilu begini, baliho menyebar laiknya jamur di musim hujan. Pohon-pohon di bahu jalan tetiba memiliki bibir dan gigi untuk tersenyum dan menyapa para pengendara. Mereka bahkan bisa bicara dan memaksa otak kita yang kecil untuk mengingat-ingat partai, nama, dan nomor urut mereka. Di banyak pohon, saya menemukan 3—4 spanduk berebut tempat.

Di beberapa pohon, yang balihonya sudah rusak dan hilang, paku dan bambunya masih gagah menancap, dari sana mengalir getah pohon yang malang. Mungkin darah, mungkin air mata. Tapi selamanya para caleg itu tidak akan mengerti, sebab pohon-pohon itu tak punya (hak) suara.

Sepertinya, karena kurang membaca, caleg kita masih terjebak dalam paham antroposentrisme, kepentingannya menjadi tuan bagi semua. Manusia dan kepentingannya adalah setinggi-tinggi nilai. Akhirnya,  alam tak lebih dari sekadar objek pemenuhan kebutuhan dan kepentingan mereka. Caleg berpikiran begini sungguh berbahaya. Kalau masih calon saja sudah semena-mena, bagaimana kelak jika sudah duduk di gedung dewan?

Semua regulasi normatif dan etik dihajar guna memuluskan ambisi politiknya. Padahal PKPU Nomor 15 tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum Pasal 70 Ayat 1 sudah dengan gamblang menjelaskan  bahwa bahan kampanye dilarang ditempelkan di tempat umum, salah satunya adalah pepohonan.

Sedang para aktivis lingkungan sudah lama melaknat tindakan menjadikan pohon sebagai media kampanye. Alasannya sederhana, memaku dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada pohon. Kerusakan kulit karena paku dapat menjadi titik masuk bagi infeksi penyakit dan bakteri.

Jika sudah begini, dalam jangka panjang sangat besar kemungkinan pohon akan melemah akibat logam yang tertancap di tubuhnya, mudah tumbang dan mati. Lalu kita memaki pemerintah karena tak becus menjaga pohon.

Mestinya, sebagai orang-orang pilihan, para caleg seyogianya memiliki strategi dan inovasi dalam memperkenalkan diri pada masyarakat. Tidak hanya mencetak baliho banyak-banyak, lalu dipaku di mana saja.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Apatahlagi, beberapa penelitian menyebut baliho tak punya relevansi yang kuat dalam mendongkrak simpati dan suara. Sebaliknya,yang ditangkap oleh masyarakat, khususnya generasi milenial hanya sikap narcissim (Prawoto, 2018). Studi ini mendukung temuan Harsanto (2016) bahwa pemasangan foto caleg merupakan pemenuhan narsis dan kepercayaan diri tinggi, kebutuhan pengakuan diri dari orang lain, serta rasa ingin dikagumi.

Pakar Komunikasi Universitas Indonesia, Firman Kurniawan Sujono, menjelaskan bahwa baliho yang bertebaran bisa membuat muak masyarakat, sehingga pesan yang dimaksudkan tidak sampai.

Dalam musim kampanye, kata Firman, di mana terjadi kompetisi baliho, justru kejenuhan yang terjadi. Pesan memang memaksa masuk, tapi persepsi yang terbentuk bisa negatif. Masyarakat muak, dan secara sadar memilih bersikap sebaliknya dari tujuan pesan. Masyarakat menolak pesan.

Di bagian akhir tulisan ini. Saya hendak mengajak pembaca mengamati sekeliling, menatap senyum palsu para caleg di baliho-baliho yang tertancap di pohon. Jika menata dan mengurus baliho mereka saja tidak bisa, bagaimana kita akan percaya mereka bisa mengurus manusia?

Ikbal Haming

Guru PJOK SD Negeri 48 Kaloling, pustakawan di Rumah Baca Panrita Nurung, Dusun Borong Ganjeng, Desa Tombolo. Menulis buku kumpulan esai "Jika Kucing Bisa Bicara" (2021).

One thought on “Para Pemaku Pohon

  • Galla Cendang

    Membaca tulisan Bung Ikbal, membuat sesuatu di dalam diri saya mengetuk-ngetuk tirai pekat yang menabiri separuh jiwa saya. Kilatan semangat melintas sejenak, tapi sedih menyusul kemudian. Lama sekali. Mungkin menyesali segala laku baik yang layu. Teruslah menulis, Bung.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *