Perang Toa
Dua hari sebelum ulang tahunku yang ke-55, 20 Februari, Kemenag Republik Indonesia mengeluarkan surat edaran. Menteri Agama lewat SE No. 05 tahun 2022, bertanggal 18 Februari 2022, tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, dimaksudkan sebagai, “Upaya meningkatkan ketentraman, hal, dan keharmonisan antarwarga masyarakat.” Ujar Gus Yaqut, sang menteri.
Reaksi masyarakat pun beraneka. Amat beragam bentuknya. Simpelnya, ada pro dan kontra. Namun, ada juga memilih diam. Di tengah debat publik atas edaran itu, muncul lagi masalah baru. Bagai virus Covid-19 yang bermutasi, melahirkan varian baru. Beredarnya potongan video sang menteri, mengamsalkan suara-suara yang keluar dari pelantang masjid, tak beraturan itu, semisal gonggongan binatang tertentu di satu kompleks perumahan. Perkara baru pun lahir. Gus Yaqut pun didapuk sebagai penista agama, dan sederet hujatan lainnya.
Tak hendak ikut berbalah terhadap sawala liar tersebut, sebab aku masih sibuk dengan capaian usiaku yang tak lagi muda. Pun, memilih diam sembari memahamkan diri terkait surat edaran dan potongan video, karena masih butuh tabayun. Waima, aku langsung teringat dengan seorang sahabat yang mengontakku tahun lalu. Awalnya ia ingin bertandang ke mukimku di Makassar, tapi karena lagi di Bantaeng, akhirnya ia pun melanjutkan percakapan lewat telepon.
Ia mengeluhkan padaku, soal suara dari pelantang masjid yang cukup keras, hingga ke kompleks perumahan tempat tinggalnya. Sebagai pengurus masjid, aku cukup bersimpati, tapi tak kuat berempati. Bahkan, aku menimpalinya dengan sederet kata-kata, bahwa aku lebih parah lagi, sebab jarak rumahku dan masjid hanya sepelemparan batu. Ditambah lagi dengan tiga suara masjid lainnya. Aku pun menyarankan, agar menemui pemerintah kelurahan, biar pihak pengurus negeri turun tangan.
Larut dalam pusaran ingatan yang belum aku tahu ujung hasilnya, tetiba saja Daeng Litere menjapriku dan bertanya kabar. Maklum, selepas aku dan dia merayakan ulang tahun secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, aku langsung balik ke Makassar tanpa pamit padanya. Nah, baru kutahu, ternyata ia terkapar beberapa hari, akibat cuaca ekstrim. Anehnya, aku pun mengalaminya, tak berdaya selama tiga hari. Sampai-sampai ada lintasan pikiran, jangan-jangan Covid-19 varian polytron, eh maksudku, omicron telah menyapaku.
Daeng Litere pun memulai percakapan dengan tanya, “Bagaimana dengan perang toa?”
Agak lama aku memahami pertanyaan itu. Semula kukira ia okkots, alias salah tulis dalam menulis kata-kata. Aku mengira ia bertanya tentang peran Daeng Toa, sebab sosok Daeng Toa selama ini menjadi salah seorang tempat kami melabuhkan gundah gulana. Ternyata, yang ia maksudkan, tentang ribut-ribut pengeras suara masjid. Bukankah pelantang suara masjid sudah identik dengan merek Toa? Jadi, apa pun jenis pelantangnya, namanya tetap toa.
Lalu, “Masih ingat duel maut masjid, antara Ruhul Amin dan Syekh Abdul Gani?” Tanya Daeng Litere, sembari mengingatkan kejadian di kampung kami bertahun-tahun lalu.
Maukah Daeng Litere bercerita kembali tentang memori itu? Aku memohon dengan sederet tanda emosi berupa jempol, tawa, dan maaf.
Cukup lama aku menanti jawaban. Rupanya ia mengetik lumayan panjang. Ia pun mengurai ceritanya dengan mengajakku ke tahun 50-an, tatkala Masjid Al-Mubaraat didirikan di kampung kami. Belakangan, di tahun 80-an masjid ini diubah namanya menjadi Masjid Ruhul Amin (MRA). Lain waktu, aku akan meminta pada Daeng Litere meliterasikan masjid ini, biar lebih oke penelusuran stori sekaligus historinya.
Lumayan panjang penuturan Daeng Litere tentang “duel maut” itu, tapi biar saja kuringkaskan. Kala Azikin Solthan menjabat Bupati Bantaeng, ia memprakarsai berdirinya satu masjid megah. Masjid itu dinamai Masjid Agung Syekh Abdul Gani (MASAG) Bantaeng. Penamaannya dilatari oleh keinginan untuk mengabadikan abdi seorang penyebar agama Islam di Bantaeng, Syekh Abdul Gani.
Lokasi MASAG, hanya bersebelahan jalan, nyaris berhadapan dengan MRA. Masyarakat pun diundang untuk membicarakan nasib MRA, manakala telah berdiri MASAG. Salah satu putusannya, aspirasi jemaah MRA, bahwa tradisi jemaah akan diakomodir dan begitu pula pengurus akan ditampung dalam komposisi pengurus MASAG. Berikutnya, ada usulan agar MRA dijadikan sebagai sekolah, perpustakaan atau kepentingan umat lainnya.
Namun, entah apa sebab, tidak demikian jalan mulusnya. MASAG setelah diresmikan pemakaiannya, tak lama kemudian RMA tetap difungsikan sebagai masjid seperti semula, kecuali tak lagi menyelenggarakan salat Jumat. Di sinilah pangkal mula perseteruan pelantang suara. Duel maut toa senantiasa bersahut-sahutan. Tabrakan suara tak terhindarkan. Bayangkan saja, meskipun RMA kecil, tapi toanya lumayan lantang suaranya.
Tidak sedikit kejadian lucu, untuk tidak menyebut insiden jemaah selagi salat. Pasalnya, karena suara kedua masjid ini saling melintas, sehingga aba-aba imam salat ikut melintas. Ada yang bangun dari sujud, padahal suara yang didengar dari imam lain. Polusi suara tak terhindarkan, ayat-ayat suci nan merdu berubah menjadi kacau-balau. Voice mewujud noice.
Belakangan, karena masyarakat tersadar, akhirnya disepakati titik kompromi. Hanya MASAG yang melantangkan toanya saat mengaji, salawat, dan azan. MRA hanya saat azan. Saat salat, keduanya memakai pelantang internal masjid. Terjadilah harmoni suara, sebab kedua pengurus masjid akur. Noice menyata voice.
Begitulah cerita versi suntinganku dari japri panjang Daeng Litere. Sessa tojeka napakua ambodoi, nasaba labbu dudui tulisanna. Aku cukup tersiksa karena meringkas tulisannya yang panjang. Namun, tak mungkin aku mengucapkan sessajaki pada Daeng Litere, kembaran jiwaku.
Kini, perdamaian itu tetap langgeng. Tiada lagi duel maut suara. Tak ada perang toa. Lebih dari itu, kemitraan dua masjid tercipta secara harmonis. Contohnya? Ketika di penghujung tahun 2021, MASAG direhab selama 3 bulan, maka fungsinya dipindahkan ke MRA. Salat Jumat kembali dihelat di MRA, sampai MASAG berfungsi kembali. Dan, hebatnya lagi, tatkala toa MASAG rusak beberapa hari sebelum Surat Edaran Kemenag RI beredar, toa MRA ambil peran, lantunan ayat-ayat suci, salawat, dan azan menggema ke langit.
Sumber gambar: www.detik.com