Sekotah karena Berlapik Literasi
“Menyebar virus literasi hingga ke tanah leluhur. Tabarakallah, ust.” (Ahmad Rusaidi)
Bumi Wajo menerungku. Pembumian diri amat singkat, hanya kurang lebih dua kali dua puluh empat jam. Pergi-pulang secara lahi-batin. Perjalanan jasmani –ruhani. Cukup ringkas simpai simpulan, memberi dan mengambil dengan hati.
Tahun 2023 masih belia menggelindingkan bentang masa. Persisnya, 7-8 Januari 2023, saya melakukan safar ke luar kota, menuju wilayah berjuluk, “Kota Sutra”, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Beberapa hari sebelumnya, saya balik dari Bantaeng ke mukim di Makassar, setelah menyempurnakan pergantian tahun.
Jumat malam, sekira pukul 21.00, saya dijemput oleh seorang anak muda, Andi Wisnu di mukim, lalu menjemput lagi kawan seperjalanan, Andi Fauzi Maddukelleng, dan Agus. Kami berempat melaju, tapi terhambat beberapa titik macet. Sehingga, mungkin mendekati pukul 23.00, baru bisa benar-benar meninggalkan Makassar.
Andi Wisnu, duduk di belakang setir menjadi teman bercakap selama perjalanan. Sementara Andi Fauzi Maddukelleng, sesekali coddo, lebih banyak tidur. Sementara Agus, nyaris tak terdengar, lelap sepanjang jalan. Saya sengaja bercakap dengan sopir, selain menggali informasi tentang penyelenggara hajatan, pun saya kesulitan tidur. Azan Subuh menandai ketibaan kami di Kota Sengkang, Wajo.
Sebelum diantar ke Wisma Sawerigading, satu penginapan bertuah, terlebih dahulu diajak sarapan nasi kuning. Sarapan ini, terbilang sangat cepat bagi saya. Pasalnya, sebelum tunaikan Subuh. Nyaris mirip makan sahur yang keteteran. Namun, saya menyerah, meskipun tidak biasa sarapan model demikian. Mau diajak ngopi, tapi saya bilang nanti seusai tidur. Lagian masih ada satu tumbler persedian kopi saya.
Tiba di wisma, tunaikan Subuh, baru tancap tidur. Jelang siang, saya bangun. Berkemas ke tempat hajatan, berjarak sepelemparan batu. Rencana pukul 13.00, helatan akan dimulai. Sementara saya, dapat giliran malam dan besok siang.
Persamuhan ini bertajuk Open Recruitmen Pustakawan Komunitas Literasi Sekolah Rakyat Wajo. Berlangsung Sabtu-Ahad, 7-8 Januari 2023, bertempat di markas Sekolah Rakyat, Jln. H.A. Tanjong, Sengkang-Wajo. Sebentuk sekretariat bernuansa literasi. Selain ruang pengembangbiakan gerakan literasi, juga tampak kedai tembakau, serupa usaha kecil bagian dari komunitas.
Sekira usai Asar, saya sua dengan Andi Rahmat Munawar, lebih sering disapa Pung Nawa. Salah seorang narasumber persamuhan. Aktivitas keseharian Pung Nawa, anggota Komisioner Bawaslu Wajo. Kali ini, tidak bicara perkara pemilu di arena persilatan pikiran, tapi mengorientasikan jagat Sekolah Rakyat. Sesarinya, ia juga melek budaya, tapi enggan disebut budayawan. Paling tepat selaku pemerhati budaya, seperti pendakuannya.
Gong pertautan pengetahuan segera terkoneksi. Maklum saja, sewaktu kuliah di Makssar, pernah terjadi interaksi. Lebih dari itu, karena ia pun cukup sering jumpa dengan sahabat saya, Ketua Bawaslu Bantaeng, Muhammad Saleh.
Jujur, saya larut dalam pusaran percakapan. Pasalnya, ruang lingkup percakapan memutar di lingkaran literasi budaya, khususnya dunia manusia Bugis. Saya pun mendapuk diri sebagai orang Bugis, maksudnya berdarah Bugis. Bapak atau Abba saya, kakek-buyutnya, kemungkinan tiga lapis generasi ke atas. Abba saya seringkali bertutur tentang leluhurnya. Mereka bermigrasi ke Bantaeng, berjalan kaki untuk menemukan tanah mukim baru.
Puzzle ingatan tentang cerita-cerita Abba, saya dedahkan ke Pung Nawa. Bermaksud mengonfirmasi beberapa item genetika ke-Bugis-an Abba Saya. Lahir di Bantaeng tahun 1928, tepatnya di Kampung Ereng-Ereng, Tompobulu, sebagai perkampungan Bugis di Bantaeng.
Percakapan tentang manusia Bugis, memangsa waktu hingga setelah Magrib. Muncul imajinasi untuk melacak pertautan genetika ke-Bugis-an. Mulai dari motif migrasi, hingga masih berlangsungnya jejaring pendidikan ke-ulama-an Bantaeng dan Wajo, diorkestrasi oleh Pesantren As’Adiyah Sengkang, hingga kini.
Kiwari, kiblat ternama buat pendidikan agama, baik level ustas maupun kiyai, Pesantren As’Adiyah masih pavorit. Beberapa pesantren di Bantaeng berafiliasi ke As’Adiyah Sengkang. Pesantren atau lembaga pendidikan agama pertama berbasis di Ereng-Ereng, turut didirikan oleh Abba saya.
Konon, orang pertama yang berangkat ke Sengkang buat nyantri, tiada lain Abba saya. Ia pernah berkisah, sempat menyaksikan karamah Gurutta Kiyai Haji As’Ad, tatkala salat minta hujan di lapangan.
Namun, saya masih ingin melakukan verfivikasi ke-konon-an ini. Bentangan pengetahuan awal dari Pung Nawa, saya bermaksud untuk melanjutkan percakapan lebih khusyuk lagi, demi dua lema literasi: genetika ke-Bugis-an dan jejaring pendidikan keagamaan.
Malam pun tiba. Sesi saya menyata, bertepatan malam Minggu. Topik persamuhan, “Penguatan dan Pengembangan Komunitas”. Sewaktu Andi Fauzi, bagian dari penyelenggara mengonfirmasi ke saya, termasuk selama perjalanan ke Sengkang, Wajo, rasa penasaran saya ajukan, mengapa mesti saya selaku pemantiknya.
Penyelenggara ingin agar saya berbagi pengalaman selaku pengasuh dua komunitas literasi, Paradigma Institute Makassar dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Mungkin mereka melihat geliat dua komunitas asuhan saya. Waima, saya pun mau menimba pengalaman lapangan dari Sekolah Rakyat Wajo.
Ajakan berbagi pengalaman, seolah membenarkan komentar adik sepupu saya, berdarah Bugis pula, Ahmad Rusaidi, kala berkomentar di medsos, “Menyebar virus literasi hingga ke tanah leluhur. Tabarakallah, ust.” Sebab, tayangan sederet foto unggahan penyelenggara menandai akun saya.
Sekadar menunjukkan tempuhan masa, Paradigma Institute, sudah ada sejak 1994, meskipun tidak ditegaskan sebagai komunitas literasi dalam perspektif kekinian, tapi sekotah geliatnya bernapaskan literasi. Sementara Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, berdiri sejak 2010.
Jadi, seperti pengasuh kuliner, penjual coto, saya akan berbagi resep, bagaimana menguatkan dan mengembangkan komunitas literasi. Racikan materi sajian saya beberkan tanpa menyembunyikan resep tertentu. Apatah lagi, pendalaman saya terhadap komunitas literasi Sekolah Rakyat, menarik untuk dikombinasikan antara pengalaman di Makassar dan praktik baik di Bantaeng.
Sekolah Rakyat Wajo, basis sumberdaya manusianya, dominan aktivis pemuda-mahasiswa, mirip dengan beberapa komunitas literasi di Makassar. Seementara, tempat pembumian gerakan literasinya bergumul di daerah, Kabupaten Wajo, senapas dengan aneka komunitas literasi di Bantaeng.
Pemetaan pengalaman dalm simpai pengetahuan, menunya saya sajikan di ruang kelas helatan, maupun percakapan intim dengan person-person penuh pesona, para pemanggul gerakan. Khususnya, tatkala saya diantar oleh Kepala Sekolah Rakyat Wajo, Edil Adhar, ke berbagai titik tandang di Kota Sengkang.
Mulai dari ziarah ke makam Sayyid Jamaluddin al-Husain di Tosora, Sekretariat Himpunan Mahasiswa Bantaeng (HPMB) Komisariat Sengkang, hingga ke warkop legendaris. Pun, mempertemukan dengan kawan-kawan aktivis HMI-MPO Cabang Wajo.
Melihat geliat gerakan literasi Sekolah Rakyat Wajo, saya segera membingkainya sebagai gerakan sudah berada pada tahap paling mutakhir. Cukup inklusif, sebab terbuka untuk berjejaring dengan berbagai elemen gerakan kaum muda mahasiswa. Bila saya ibaratkan, serupa diska lepas (flashdisk), siap dicolokkan ke mana saja, sepanjang tempat colokan itu punya perangkat alat baca konten literasi.
Selain mendedahkan penguatan kelembagaan, saya pun diminta menguatkan kapasitas literasi calon pustakawan. Maka sajian terkait kemampuan literasi dasar, tradisi membaca dan menulis, harga mati yang tak bisa ditawar. Dunia baca-tulis, saya kedepankan secara praktis. Semacam tips awal bagaimana membaca dan menulis, sebagai pengayaan inteketual-spiritual.
Jelang pukul 24.00, kami berempat balik ke Makassar. Bak tim sepak bola, komposisi pemain tetap. Tempat duduk tidak berubah. Suasana pun demikian. Saya terlibat percakapan intim. Senin subuh tiba di Makassar. Sungguh, safari literasi saya kali ini, bermuara pada: memberi dan mengambil dengan hati, berlapik gerakan literasi.