Daeng Litere'

Selusin Tahun

Termenung lesu. Rona mukanya tampak murung. Nyaris membisu di hadapadanku. Padahal kami berdepan-depan, sudah memangsa waktu lebih dari seratus dua puluh detik. Ia hanya menatap segelas kopi nirmanis. Hingga, saat ia menyeruput kopinya, lalu menarik napas panjang. Sebaliknya, aku sesantai mungkin. Menjaga citra agar kelihatan tiada perkara apa-apa. Maklum, kami lagi berada di salah satu sudut kota, pada warkop tua bertuah langganan kami.

Sitojekna, inne tahungnga, Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, tahung kalassukanna anre tanrana, singkamua allaloa.” Daeng Litere memecah kebisuan, memulai percakapan, menanggapi ulang tahun Boetta Ilmoe yang lahir pada 1 Maret 2010, tanpa ada penanda sama sekali, seperti tahun-tahun sebelumnya.

Tanpa banyak cakap, aku langsung saja memperdengarkan pesan suara dari seorang sahabat, Muhary Wahyu Nurba, dari seberang pulau, tepatnya, Kota Lombok, Nusa Tenggara Timur.

“Selamat ulang tahun Boetta Ilmoe yang ke-12. Dan, saya yakin angka ini akan terus bertahan ke angka-angka berikutnya. Karena saya tahu, pelopornya adalah orang yang sangat… sangat mencintai literasi yang selalu menjadi inspirasi, bagi semua penggerak atau penikmat literasi yang ada di Bantaeng dan saya pikir, juga di Sulawesi Selatan. Selamat ulang tahun, jangan pernah menyerah, jangan pernah lelah, he..he..he. Semoga kita sampai di puncak yang hakiki. wassalamu alaikum.”

Kontan saja Daeng Litere berubah raut wajahnya. Senyumnya mekar mendengar sederet pesan suara bertenaga, dari seorang yang turut berjasa terhadap Boetta Ilmoe. Apa passala? Sebab Muhary, sang pensyair itu, yang menciptakan logonya. Selain itu, ia juga pernah menulis satu esai terkait Boetta Ilmoe,  di Koran Tempo Makassar, berjudul, “Berbahagialah, Berbagilah!” Setelahnya, esai tersebut terabadikan dalam buku Esai Tanpa Pagar.

Arkian, makin merekah wajahnya, kala saya sodorkan gambar dari Rahman Ramlan, Direktur Bonthain Institute, serupa ucapan selamat ulang tahun, disertai pengiring tembang lawas dari God Bless, “Rumah Kita”. Daeng Litere pun bersenandung penuh bahagia, lebih baik di sini, rumah kita sendiri. Lalu ia setengah berteriak di warkop, “Angkat gelasmu, pakintaki, mari seruput bersama, sebagai penanda milad.”

Larut dalam kegembiraan, entah mengapa aku seolah terbang menggunakan sayap Jibril, mendarat di satu lembah antah berantah. Aku menengadah ke atas bukit, terlihat sosok insan citra ilahi, mirip Daeng Litere, mengeluarkan secarik kertas dari saku jubahnya. Berkhutbahlah ia dari atas bukit. Bagai seorang pensyair, berusaha tampil seperti Muhary, merapal kalimat-kalimat, tapi lebih bernuansa mantra. Apa yang dirapal itu, kemudian ia berikan padaku.

Anehnya, kala kesadaran manusiawiku kembali di warkop, aku raba saku celana-sarungku. Ternyata, secarik kertas itu ada di dalamnya. Aku buka perlahan-lahan. Aku pun membaca ulang di hadapan Daeng Litere. Lumayan juga panjangnya, 292 kata. Apalagi bila dijadikan jimat juang kehidupan. Tak mengapalah aku menuliskan lagi, reken-reken sebagai catatan batin.

“Setiap orang akan mendapatkan, apa yang diupayakannya”. Kata-kata bertuah ini, terpahat amat jelas di hatiku, dan terlukis sangat indah di pikiranku. Betapa tidak, tutur itu diajarkan oleh seseorang guru kehidupan, yang hingga kini, masih menjadi rujukan intelektual-spiritual bagiku, tatkala merapal semesta kehayatan.

Pesan kejuangan itu, dipatrikan pada segenap insan yang berkomitmen akan mengurus perikatan sosial. Aku amat lama tertegun pada ucapannya. Seolah ia telah mengerti jalan pikiran dan niatan dari segenap kisanak yang bakal memelihara perkumpulan. Lebih benderang aku menangkap bahwa, amat berwarna motivasi seseorang dalam melibatkan diri pada perhimpunan.

Kalau boleh aku ajukan garis besarnya, ada dua wajah. Satu bertumpu pada rida manusia, lainnya berlapik di pencipta manusia. Jika tujuannya untuk citra manusia, maka paling tinggi yang diraih adalah pujian. Bilamana wajahnya menuju pada citra ilahi, pastilah tak terhitung berkah yang didapat. Aku termasuk masih bisa membedakan mana pujian manusia, mana pula berkah ilahi.

Belakangan ini, aku amat serius mendalami dua wajah ini, yang aku sepadankan pada beberapa perjemaahan sosial, yang aku ikut tersangkut padanya. Baik yang aku secara sadar menenggelamkan diri, maupun karena diceburkan oleh kisanak, yang menganggapku laik untuk dibui oleh organ-organ sosial itu.

Aku sendiri tidak pernah ragu, apalagi takut pada sekotah terungku sosial itu. Sebab, aku masih mengamalkan mantra dari guruku itu. Dan, kiwari ini, aku selalu menebarkan mantra ajaran guruku ini. Sehingga, tidak sedikit pula kisanak yang merasa, aku telah menjadi gurunya. Aku tak kuasa menolak untuk dijadikan tempat berguru, tapi aku leluasa untuk tidak menghimpun murid.

Apa pasal? Sebab, pada hubungan yang semisal ini, menurut beberapa kisanak yang kritis pikirannya, menganggap ada eksploitasi. Terlebih lagi, manakala meningkat menjadi relasi senior-junior, tampaknya makin dekat pada perwujudan citra manusiawi. Ah, sudahlah. Daripada berbalah tentang relasi yang dianggap eksploitatif, mending kita kembali saja pada mantra bertuah guruku itu.

Cuma tertegun. Begitu kira-kira reaksi Daeng Litere, setelah kutabalkan secarik kalimat-kalimat itu. Kemudian menatapku, berujar satu kata, “dejavu”. Entah apa maksud detailnya. Hanya saja, di pucuk percakapan, ia meminta kembali agar aku memutar kembali video siarang langsung, terkait tutur-tutur seputar ulang tahun ke-12 Boetta Ilmoe. Ia tetap jatuh rasa pada bait-bait yang pernah kutulis, termuat dalam buku, “AirMataDarah”, yang kueja ulang di awal video.

Getaran-getaran gerakan literasi itu makin hari makin terasa, dan akan bergerak menjadi gelombang literasi, yang akan menghasilkan akumulasi: Gempa Literasi.

Percayalah, wahai warga Butta Toa-Bantaeng, jikalau gempa literasi ini melanda negerimu, maka derajatmu akan terangkat sangat tinggi melampaui langit, menghujam ke dalam menembus perut bumi.

Anak negeri di Butta Toa-Bantaeng, ternyata menyimpan potensi-energi gempa literasi yang tak terkira

Mari satukan potensi, timbulkan getaran-getaran, guna menyongsong gempa literasi, agar negeri ini tercerahkan pikirannya dan tersingkap rohaninya.

Setengah bercanda, Daeng Litere meminta padaku, agar aku menunjukkan komentar atas video itu. Matanya langsung tertuju pada komentar seorang sahabat, penanggung jawab Teras Baca Lembang-Lembang, Dion Syaif Saen. “Tulisiki komengna Dion,” ia merayuku. Maka inilah komentar tersebut, “Tetap sehatki Daeng dalam mengawal gerakan dan gempa literasi di Bantaeng.” Kulihat ada haru, matanya berkaca-kaca. Aku pun ikut larut dalam pusaran panjatan doa dan harapan sakti tersebut.

Komentar lain, dari Kamaruddin, seorang tuan guru, “Salam literasi, selamat milad 12 tahun Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Insyallah, berkah untuk kita semua yang membersamai gerakan literasi.”

Daeng Litere kembali termenung, tapi tidak lesu lagi. Termenung merenungkan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan telah melakukan penaklukan masa 12 tahun. Yah, selusin tahun.

Kredit Gambar: Ahmad Ismail

Sulhan Yusuf

Sulhan Yusuf, lahir di Bantaeng, 20 Februari 1967. Sehari-hari aktif sebagai pegiat literasi. Mendirikan dan mengasuh Paradigma Institute Makassar dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Telah menulis buku: antologi puisi AirMataDarah (2015), literasi paragraf tunggal Tutur Jiwa (2017), antologi esai Pesona Sari Diri (2019), antologi Maksim Daeng Litere (2021), dan antologi narasi-esai Gemuruh Literasi (2023).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *