BantaengEdukasi

Sindikat Literasi: Sarrea, Balla Borong, dan Jambi

Sebatang pohon jambu air di halaman rumah. Buahnya berwarna merah lembut bergurat kehijau-hijauan tanpa biji. Rasanya manis menyerupai buah apel. Musim berbuahnya  dua kali setahun, tapi di sela-sela musim, selalu saja menawarkan buahnya, walau tak banyak.

Para tetangga memuji buah jambu air itu dan selalu ikut riang gembira tatkala musim berbuah tiba. Sebab, tak punya biji, sesiapa saja yang ingin mengambil bibitnya, maka dilakukan pencangkokan. Dan, pohon demi pohon tersebar ke berbagai tempat berkat metode cangkok. Bahkan, dari hasil cangkokan ini, dicangkok lagi oleh orang yang jatuh rasa pada buah jambu air tersebut.

Entah kenapa, saya teringat kembali dengan sepohon jambu air di depan rumah. Pohon yang ditanam oleh abba sudah mati, karena dimakan usia, mendahului penanamnya yang telah wafat pula. Kala itu, masa menikmati buah jambu air, sejak saya kanak-kanak hingga dewasa. Pertengahan tahun 70-an sampai medio 90-an.

Boleh jadi, memori saya terhangatkan gara-gara hampir setahun ini, saya intens bersama Dion Syaif Saen, seorang seniman, sekaligus selaku pegiat literasi di Teras Baca Lembang-Lembang, Kelurahan Pallantikang, Kec. Bantaeng.

Apa pasalnya? Satu tindakan biasa saja, tapi luar biasa bagi pelakonnya. Kurun waktu yang saya maksudkan, ketika berboncengan dengan Dion ke beberapa kampung di pelosok Bantaeng. Ada yang ditempuh penuh tanjakan, ada juga dijalani dengan datar saja.

Ada tiga kampung sasaran. Kampung Sarrea-Desa Pabbumbungan,  Kampung Balla Borong-Desa Bajiminasa, dan Kampung Jambi-Desa Kampala. Nama kampung yang terakhir, bukan di Sumatera ya? Namanya saja sama, bagaimana latar kesamaan itu saya tidak tahu.

Jumat, 8 Oktober 2021. Baskara mulai melemah teriknya. Sore menyapa senja. Saya dan Dion, bersama Bung Fendi dan pasangannya, serta dua orang remaja putri: ponakan Dion dan temannya, berangkat dari kota menuju pelosok Bantaeng.

Dengan berkendara 3 motor, kami ke Kampung Sarrea, Desa Pabbumbungan, Kec. Eremerasa. Titik yang kami tuju, serupa komunitas literasi, namanya “Lego-Lego Baca Tau Macca”. Komunitas ini terbentuk beberapa bulan sebelum kunjungan saya. Inisiatornya bernama Irma, sering dipanggil Imma, seorang guru.

Kami mengantar donasi buku dari Fendi. Sebelumnya, juga sudah ada donasi dari dr. Hikmah, diantar langsung oleh Dion pekan sebelumnya. Sebenarnya, waktu itu saya mau ikut, tapi bertepatan dengan kelas menulis esai di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.

Markas Lego-Lego Baca Tau Macca, berada di atas beranda rumah panggung milik Imma dan keluarganya. Karena area yang dipakai sebagai tempat aktivitas literasi di beranda rumah, maka dinamakan lego-lego, dalam bahasa Makassar-Bantaeng, berarti beranda. Seddangkan tau macca, bermakna orang pintar. Jadi, Lego-Lego Baca Tau Macca, dimaksudkan sebagai beranda baca orang pintar.

Kebanyakan yang datang membaca dan aktivitas literasi lainnya, didominasi anak-anak sekolah dasar dan tak ketinggalan pula beberapa remaja dan orang dewasa. Dinamikanya cukup aktif. Paling tidak, dapat dipantau di media sosial, facebooknya Imma Irma. Dari media ini, tampak sekali keriangan dari giat orang-orang yang bergiat di komunitas ini.

Senin, 14 Februari 2022. Sejak siang hingga sore. Saya ikut menemani Dion bertandang ke Kampung Balla Borong, bersua dengan satu keluarga, yang merelakan teras rumahnya sebagai ruang baca buat anak-anak. Jadilah satu komunitas literasi. Kami menamainya, “Teras Baca Balla Borong”. Bertempat di Desa Bajiminasa, Kec. Gantarangkeke, Bantaeng.

Teras Baca Balla Borong bertempat di teras rumah seorang guru, bernama Yasra, lebih akrab disapa  Asra dan keluarganya. Peresmiannya dilakukan bertepatan dengan kedatangan kami, yang sekaligus membawa bahan bacaan dari wakaf beberapa donatur.

Alhamdulillah, sejak dibukanya ruang baca tersebut, hingga esai ini saya torehkan, unggahan di facebook Yasra Asra, menunjukkan geliat anak-anak berkumpul sambil membaca, makin menggembirakan. Saya dapat memastikan, tantangan berikutnya, anak-anak tersebut akan menagih bacaan baru. Nah, saat seperti inilah kami senantiasa bergerilya memenuhi harapan mereka.

Ahad, 21 Agustus 2022, dengan dua motor saling berboncengan, saya bersama Dion dan seorang sahabat, Bair dengan anaknya yang lagi praktik kuliah lapangan di salah satu SD Kampung Jambi, bernamaTiara, menaklukan tanjakan ke Desa Kampala, Kec. Eremerasa. Membawa sekantong buku bahan bacaan dari para pewakaf, guna memulai aktivitas di komunitas literasi yang akan kami bentuk.

Kedatangan kami pun disambut hangat. Baru sekira lima belas menit, suguhan kopi kampung, pisang goreng, dan cemilan sudah tersedia di ruang tamu, rumah panggung dari seorang guru, bernama Kamariah.

Hampir setengah jam kemudian, puluhan anak-anak SD bertandang ke rumah kami berada. Langsung saja diberi penjelasan tentang maksud kedatangan kami berempat. Dikenalkannya kami semua kepada mereka, kecuali Tiara yang sudah akrab dengan mereka, sebab hampir sebulan terakhir ia sudah berinteraksi dengan anak sekolahan tersebut.

Kumpul bocah pun menyata riang gembira. Mereka segera berebut bahan bacaan. Sembari mengamati anak-anak membaca, kami berdiskusi tentang bagaimana keberlangsungan komunitas literasi ini. Dan, di sela-sela percakapan kami, terlintas ide untuk memberi nama komunitas literasi ini. Ada beberapa nama yang dimunculkan, tapi yang jadi dipakai, “Paladang Baca Jambi”.

Paladang dalam bahasa Makassar-Bantaeng, semakna dengan beranda, teras, selasar. Serupa dengan lego-lego. Persisnya, Paladang Baca Jambi, dimaksudkan sebagai beranda tempat membaca di Jambi.

Bertolak dari tiga komunitas literasi tersebut, ada beberapa persamaannya. Pertama, sekotahnya berbasis di selasar mukim atau beranda rumah. Kedua, semuanya dikelolah oleh seorang ibu guru. Ketiga, ternyata para ibu guru pengelolah komunitas tersebut masih satu rumpun keluarga, meskipun sudah berbeda desa dan kecamatan. Jaringan keluarga persepupuan telah menjadi pengikatnya.

Hebatnya lagi, ketiga jaringan keluarga tersebut, masih bersepupu pula dengan Dion. Artinya Dionlah yang menjadi asal mula jejaring komunitas literasi ini. Maka tak mengherankan, jikalau model-model pilihan tempat berbasis beranda mengemuka seiring dengan model pengelolaan komunitas literasi yang digawangi Dion di rumahnya yang berbasis teras pula.

Tampaknya, inilah yang mengingatkan saya pada pohon jambu air yang ada di depan rumah, berpuluh tahun silam. Dion dengan Teras Baca Lembang-Lembang-nya, telah berhasil mencangkokkan pohon bacanya ke beberapa halaman rumah sepupunya, berwujud teras-teras baca dengan nama yang berbeda-beda, tapi substansinya sama.

So, bukan saja dalam dunia bisnis dan mafia ada sindikat keluarga, pun dalam jejaring literasi bisa hadir sindikat literasi. Paling tidak keluarga Dion telah bersindikasi dalam sindikat literasi: Sarrea, Balla Borong, dan Jambi.

Sulhan Yusuf

Sulhan Yusuf, lahir di Bantaeng, 20 Februari 1967. Sehari-hari aktif sebagai pegiat literasi. Mendirikan dan mengasuh Paradigma Institute Makassar dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Telah menulis buku: antologi puisi AirMataDarah (2015), literasi paragraf tunggal Tutur Jiwa (2017), antologi esai Pesona Sari Diri (2019), antologi Maksim Daeng Litere (2021), dan antologi narasi-esai Gemuruh Literasi (2023).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *